Sabtu, 12 Desember 2015

Branding Management

1. Brand Equity

Brand equity adalah kekuatan suatu brand yang dapat menambah atau mengurangi nilai dari brand itu sendiri yang dapat diketahui dari respon konsumen terhadap barang atau jasa yang dijual.

Menurut Kotler dan Armstrong (2004), “Brand equity is the positive differential effect that knowing the brand name has on customer response to the product or service” (p. 292).
Artinya ekuitas merek adalah efek diferensiasi yang positif yang dapat diketahui dari respon konsumen terhadap barang atau jasa.


Menurut Soehadi (2005), kekuatan suatu merek (brand equity) dapat diukur berdasarkan 7 indikator, yaitu:

1. Leadership: kemampuan untuk mempengaruhi pasar, baik harga maupun atribut non-harga

2. Stability: kemampuan untuk mempertahankan loyalitas pelanggan.

3. Market: kekuatan merek untuk meningkatkan kinerja toko atau distributor.

4. Internationality: kemampuan merek untuk keluar dari area geografisnya atau masuk ke negara atau daerah.

5. Trend: merek menjadi semakin penting dalam industri.

6. Support: besarnya dana yang dikeluarkan untuk mengkomunikasikan merek.

7. Protection: merek tersebut mempunyai legalitas

Peneiliti yang mewakili aliran brand equity adalah David Aaker (ex. Universitas California) dan Kevin Keller (Dartmouth College). Menurut mereka ada empat komponen penting yang membentuk brand equity, yaitu:

 1) Brand Awareness adalah daya ingat konsumen atau calon konsumen tentang produk kita. Apa saja yang biasa di ingat konsumen atau calon konsumen. Dalam hal ini tentunya bisa meliputi nama, gambar/ logo, serta slogan tertentu yang digunakan para pelaku pasar untuk mempromosikan produk-produknya. Semakin banyak orang mengingat produk kita, sudah tentu akan meningkatkan volume penjualan.

Bisa dikatakan, brand awareness menjadi salah satu faktor penting yang dibutuhkan para pelaku usaha untuk memperkuat brand produknya. Sebab, tak bisa kita pungkiri bila semakin banyak konsumen yang mengingat brand produk Anda, maka semakin besar pula intensitas pembelian yang akan mereka lakukan.

Brand awareness sendiri memiliki 4 tingkatan, yakni sebagai berikut : 

    1.  Unaware of brand (tidak menyadari merek), merupakan tingkat yang paling rendah dalam piramida kesadaran merek, dimana konsumen tidak menyadari akan adanya suatu merek.

   2. Brand recognition (pengenalan), merupakan tingkat minimal dari kesadaran merek. Dimana para konsumen baru mengenal sebuah merek dan masih membutuhkan alat bantu untuk bisa mengingat merek tersebut (misal : spanduk, stiker dan lain sebagainya).

     3.  Brand recall (mengingatkan kembali), kesadaran merek langsung muncul di benak para konsumen setelah merek tertentu disebutkan. Berbeda dengan recognition yang membutuhkan alat bantu, brand recall hanya membutuhkan pengulangan/ penyebutan ulang untuk mengingat merek produk.

     4.  Top of mind (puncak), adalah tingkatan tertinggi dimana merek tertentu telah mendominasi benak para konsumen, sehingga dalam level ini mereka tidak membutuhkan pengingat atau alat bantu apapun untuk bisa mengenali merek produk tertentu.

 2) Perceived quality, yaitu kualitas brand atau produk tersebut di mata konsumen. Apabila konsumen beranggapan suatu brand berkualitas, dia akan lebih mudah membayar lebih untuk brand tersebut.

 3) Brand associations, konsep-konsep, orang, atau image yang dihubungkan dengan brand. Brand assosiations berguna dalam pembentukan sikap positif terhadap brand dan menjadi motivasi pembelian. Asosiasi ini tidak hanya eksis, namun juga memiliki suatu tingkat kekuatan. Keterikatan pada suatu merek akan lebih kuat apabila dilandasi pada banyak pengalaman atau penampakan untuk mengkomunikasikannya.

Asosiasi ini menjadi dasar dari keputusan beli dan loyalitas terhadap suatu brand. Asosiasi ini menciptakan nilai tersendiri pada perusahaan melalui:
 

    1. Membantu proses atau memanggil suatu informasi
Asosiasi yang tinggi akan membantu terutama pada saat pengambilan keputusan untuk membeli. Melalui asosiasi yang tinggi maka pelanggan dapat dengan mudah mengingat dan mengasosiasikan brand tersebut pada suatu kebutuhannya.

    2. Membuat brand tersebut terdiferensiasikan.
Suatu asosiasi yang terdiferensiasikan akan menjadi suatu keunggulan kompetitif yang utama. Asosiasi yang tinggi akan menjadi suatu penghalang bagi pesaing untuk menyerang brand tersebut.

    3. Membangun alasan untuk membeli.
Hadirnya brand association akan memberikan alasan yang kuat bagi pelanggan untuk mengkonsumsi produk tersebut.

    4. Menciptakan perasaan atau emosi yang positif.
Asosiasi akan menstimulasi emosi yang positif antara pelanggan dengan brand  tersebut.  Melalui  pengalaman  yang  diberikan  setelah mengkonsumsi brand tersebut akan menambah kuat jalinan loyalitas pelanggan.

    5. Menyediakan basis untuk melakukan eksistensi brand.
Melalui asosiasi yang kuat serta perceived quality yang kuat maka brand eksistensi dapat diakukan untuk memperkuat portfolio suatu perusahaan tanpa harus membuat dari awal.


 4) Brand loyalty, menurut Aaker dalam Durianto, et.al. (2004, p126) “Brand loyalty adalah suatu ukuran keterkaitan pelanggan kepada suatu merek.” Ukuran ini mampu memberikan gambaran tentang mungkin tidaknya seorang pelanggan beralih ke merek produk lain. Seorang pelanggan yang sangat loyal kepada suatu merek tidak akan dengan mudah memindahkan suatu pembeliannya ke merek lain, apa pun yang terjadi dengan merek tersebut. Bila persepsi konsumen terhadap merek meningkat, kerentanan kelompok pelanggan tersebut dari ancaman dan serangan merek produk pesaing dapat dikurangi. 

Menurut Aaker dalam Durianto, et.al. (2004, p128), tingkatan-tingkatan yang terdapat dalam loyalitas merek adalah sebagai berikut: 

    1) Berpindah-pindah (switcher)
Pelanggan yang berada pada tingkat loyalitas ini dikatakan sebagai pelanggan yang berada pada tingkat yang paling dasar. Semakin sering pembelian konsumen berpindah dari suatu merek ke merek yang lain mengindikasikan bahwa mereka tidak loyal, semua merek dianggap memadai. Dalam hal ini, merek memegang peranan kecil dalam keputusan pembelian. Ciri yang jelas dalam kategori ini adalah mereka membeli suatu merek karena harganya murah.

    2) Pembeli yang bersifat kebiasaan (habitual buyer)
Pembeli pada tingkat ini dikategorikan sebagai pembeli yang puas dengan merek produk yang dikonsumsinya. Tidak ada alasan yang kuat baginya untuk membeli merek produk lain atau berpindah merek, terutama jika peralihan itu membutuhkan usaha, biaya, atau pengorbanan lain. Dapat disimpulkan bahwa pembeli ini membeli suatu merek karena kebiasaan.

    3) Pembeli yang puas karena biaya peralihan (satisfied buyer)
Pada tingkatan ini, pembeli merek masuk ke dalam kategori puas bila mereka mengonsumsi merek tersebut.

    4) Menyukai merek (liking the brand)
Pembeli dalam kategori ini adalah pembeli yang benar-benar menyukai merek tersebut. Pada tingkat ini dijumpai perasaan emosional yang terkait dengan merek. Rasa suka pembeli ini bisa saja didasari oleh asosiasi yang terkait dengan simbol, rangkaian pengalaman dalam penggunaan sebelumnya baik yang dialami pribadi maupun kerabatnya ataupun yang disebabkan oleh karena persepsi kualitas yang tinggi.

    5) Pembeli yang komit (comitted buyer)
Pada tahap ini pembeli merupakan pelanggan yang setia. Mereka memiliki suatu kebanggaan sebagai pengguna suatu merek dan bahkan merek tersebut menjadi sangat penting bagi mereka dipandang dari segi fungsinya maupun sebagai suatu ekspresi mengenai siapa mereka sebenarnya. Pada tingkatan ini, salah satu aktualisasi loyalitas pembeli ditujukan oleh tindakan merekomendasikan dan mempromosikan merek tersebut kepada pihak lain. 








Sumber :
http://lembing.com/apa-pengertian-brand-awareness/
http://bisnisukm.com/brand-awareness.html
http://jurnal-sdm.blogspot.co.id/2009/05/brand-equity-kekuatan-suatu-merek.html 
http://fahmijule.tumblr.com/post/33824077536/branding-management
http://pengertianmenurutahli.blogspot.co.id/2013/06/brand-association-dari-merek.html
Continue Reading...

Followers

Contact

Follow The Author